Hallo kakak-kakak... pada
kesempatan kali ini, kami memiliki sebuah cerita yaitu misi melakukan
pengembaraan, mengunjungi serta mengulas tempat bersejarah di daerah Malang. Perjalanan ini ditempuh dengan jalan kaki kurang lebih ± 30 km. Perjalanan
kami dilakukan pada malam hari dimana
lokasi awal adalah kampus 3 Universitas Muhammadiyah Malang sampai tujuan
akhirnya adalah mengunjungi dua candi yang ada di daerah Singasari yaitu candi
Singasari dan candi Sumberawan.
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan, tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari
peradaban Hindu - Buddha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah “candi” tidak hanya digunakan oleh
masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala
non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.
Dinginnya malam tak membuat kita lelah semangat untuk
terus berjalan melewati jalan raya yang sangat ramai dan lama kelamaan semakin
sepi mulai pukul 19.00 WIB. Ketika sudah sampai di daerah Singasari kami
mencari sebuah mushola untuk istirahat tepat pukul 02.00 WIB. Setelah itu pukul
07.00 kami melanjutkan perjalanan menuju tujuan pertama yaitu “Candi Singasari”
dan sampai pukul 08.00 WIB.
Teriknya matahari menepati janjinya untuk menyajikan keindahan
dan keasrian Candi candi Singasari. Candi peninggalan zaman dahulu yang masih kokoh berdiri. Sungguh
keindahan peninggalan milik warga Kecamatan Singasari, Malang, Jawa
Timur.
Candi Singasari merupakan candi yang terletak di Desa Candi Renggo, Kecamatan
Singosari, Kabupaten Malang, kurang lebih 9 Km dari kota Malang ke arah
Surabaya. Candi ini juga dikenal dengan nama Candi Cungkup atau Candi Menara,
nama yang menunjukkan bahwa Candi Singasari adalah candi yang tertinggi pada
masanya, setidaknya dibandingkan dengan candi lain di sekelilingnya. Akan
tetapi, saat ini di kawasan Singasari hanya candi Singasari yang masih tersisa,
sedangkan candi lainnya telah lenyap tak berbekas.
Kapan tepatnya Candi
Singasari didirikan masih belum diketahui, namun para ahli purbakala
memperkirakan candi ini dibangun sekitar tahun 1300 M, sebagai persembahan
untuk menghormati Raja Kertanegara dari Singasari.
Bangunan Candi Singasari terletak di tengah
halaman. Tubuh candi berdiri di atas batur kaki setinggi sekitar 1,5 m, tanpa
hiasan atau relief pada kaki candi. Tangga naik ke selasar di kaki candi tidak
diapit oleh pipi tangga dengan hiasan makara seperti yang terdapat pada
candi-candi lain. Pintu masuk ke ruangan di tengah tubuh candi menghadap ke
selatan, terletak pada sisi depan bilik penampil (bilik kecil yang menjorok ke
depan). Pintu masuk ini terlihat sederhana tanpa bingkai berhiaskan pahatan. Di
atas ambang pintu terdapat pahatan kepala Kala yang juga sangat sederhana pahatannya.
Adanya beberapa pahatan dan relief yang sangat sederhana menimbulkan dugaan
bahwa pembangunan Candi Singasari belum sepenuhnya terselesaikan.
Sepintas bangunan Candi Singasari terlihat
seolah bersusun dua, karena bagian bawah atap candi berbentuk persegi,
menyerupai ruangan kecil dengan relung di masing-masing sisi. Tampaknya
relung-relung tersebut semula berisi arca, namun saat ini kempatnya dalam
keadaan kosong. Di atas setiap ambang “pintu” relung
terdapat hiasan kepala Kala dengan pahatan yang lebih rumit dibandingkan dengan
yang ada di atas ambang pintu masuk dan relung di tubuh candi. Puncak atap
sendiri berbentuk meru bersusun, makin ke atas makin mengecil. Sebagian puncak
atap terlihat sudah runtuh.
Candi Singasari pernah dipugar oleh pemerintah
Belanda pada tahun 1930-an, terlihatan
dari pahatan catatan di kaki candi. Akan tetapi, tampaknya pemugaran yang
dilakukan hasilnya belum menyeluruh, karena di sekeliling halaman candi masih
berjajar tumpukan batu yang belum berhasil dikembalikan ke tempatnya semula.
Di halaman Candi Singasari juga terdapat
beberapa arca yang sebagian besar dalam keadaan rusak atau belum selesai
dibuat, di antaranya arca Syiwa dalam berbagai posisi dan ukuran, Durga, dan
Lembu Nandini.
Legenda candi Singasari
Beberapa candi di Jawa Timur, terutama yang
terletak di sekitar kota Malang, mempunyai kaitan sejarah yang erat dengan
Kerajaan Singasari. Dinasti Singasari merupakan keturunan Ken Dedes dengan
kedua suaminya, Tunggul Ametung dan Ken Arok, rakyat kebanyakan yang membunuh,
mengambil alih kekuasaan, dan sekaligus merebut istri Tunggul Ametung.
Sejarah Kerajaan Singasari ini melahirkan
legenda tentang keris buatan Mpu Gandring yang sangat terkenal di kalangan
masyarakat Jawa Timur. Menurut legenda, Ken Arok adalah anak hasil hubungan
gelap seorang wanita Desa Panawijen, bernama Ken Endog, dengan Batara Brahma.
Tak lama setelah dilahirkan, bayi Ken Arok dibuang oleh ibunya di sebuah
pekuburan, kemudian ditemukan dan dibawa pulang oleh seorang pencuri ulung.
Dari ayah angkatnya inilah Ken Arok belajar tentang segala siasat dan taktik
perjudian, pencurian dan perampokan. Setelah dewasa ia dikenal sebagai perampok
yang sangat ditakuti di wilayah Tumapel. Suatu saat Ken Arok berkenalan dengan
seorang brahmana bernama Lohgawe yang menasihatinya agar meninggalkan dunianya
yang hitam. Atas dorongan Lohgawe, Ken Arok berhenti menjadi perampok lalu
mengabdikan diri sebagai prajurit Tumapel.
Pada masa itu yang menjadi akuwu di Tumapel,
wilayah Kerajaan Kediri, adalah Tunggul Ametung. Sang Akuwu memperistri Ken
Dedes, putri Mpu Purwa yang tinggal di Panawijen. Dari perkawinan tersebut
lahir seorang putra bernama Anusapati. Pada suatu hari, Ken Dedes pulang ke
Panawijen untuk menjenguk ayahnya. Ketika Ken Dedes turun dari kereta kerajaan,
bertiuplah angin kencang yang menyingkap bagian bawah kain panjangnya. Pada
saat itu, Ken Arok yang bertugas mengawal kereta Ken Dedes sempat melihat
sekilas betis istri Tunggul Ametung tersebut. Di mata Ken Arok, betis Ken Dedes
memancarkan sinar yang menyilaukan. Pemandangan tersebut tak mau hilang dari
benak Ken Arok. Ia lalu menanyakan hal itu kepada Mpu Purwa. Sang Mpu
menjelaskan bahwa sinar yang dilihat Ken Arok merupakan pertanda bahwa Ken
Dedes ditakdirkan sebagai wanita yang akan menurunkan raja-raja di Pulau Jawa.
Ken Arok kemudian memesan sebuah keris kepada
seorang Mpu di Tumapel yang bernama Mpu Gandring. Untuk membuat sebuah keris
yang dapat diandalkan keampuhannya, diperlukan waktu yang cukup lama untuk
menempa, membentuk dan menjalankan ritual yang diperlukan. Karena keris yang
dipesan tak kunjung selesai, Ken Arok menjadi sangat marah. Ia merebut keris
yang belum selesai tersebut lalu menikamkannya ke tubuh pembuatnya. Menjelang
ajalnya, Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken Arok pun akan mati di ujung keris yang
sama dan keris itu akan meminta korban tujuh nyawa.
Keris buatan Mpu Gandring tersebut oleh Ken
Arok dipinjamkan kepada temannya yang mempunyai watak suka pamer, yaitu Kebo
Ijo. Kebo Ijo memamerkan keris itu kepada teman-teman prajuritnya dan
mengatakan bahwa keris itu adalah miliknya. Setelah banyak orang yang
mengetahui keris itu milik sebagai milik Kebo Ijo, ken Arok lalu mencurinya dan
menggunakannya untuk menikam Tunggul Ametung. Dengan sendirinya tuduhan jatuh kepada
kebo Ijo, sementara Ken Arok berhasil menggantikan kedudukan Tunggul Ametung
sebagai akuwu dan menikahi Ken Dedes.
Setelah berhasil menjadi
akuwu, Ken Arok kemudian menaklukkan Kerajaan Kediri, yang kala itu diperintah
oleh Raja yang kala itu diperintah oleh Raja Kertajaya (1191-1222), dan
mendirikan Kerajaan Singasari. Ia menobatkan dirinya menjadi raja Singasari
yang pertama dengan gelar Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi. Dari Ken Dedes, Ken
Arok berputra seorang, bernama Mahisa Wongateleng, sedangkan dari Ken Umang ia
juga mendapatkan seorang putra bernama Tohjaya. Kutukan Mpu Gandring mulai
berlaku. Ken Arok dibunuh dan digantikan kedudukannya oleh Anusapati. Anusapati
dibunuh dan digantikan kedudukannya oleh Tohjaya. Tohjaya dibunuh dan digantikan
oleh Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni kemudian dinobatkan sebagai raja
dengan gelar Jayawisnuwardhana dan memerintah Singasari mulai pada tahun 1227
hingga 1268. Jayawisnuwardhana digantikan oleh putranya, Joko Dolog yang
bergelar Kertanegara (1268-1292).
Kertanegara adalah Raja Singasari yang
terakhir. Pemerintahannya ditumbangkan oleh Raja Kediri, Jayakatwang. Namun
Jayakatwang berhasil dikalahkan oleh menantu Kertanegara yang bernama Raden
Wijaya. Raden Wijaya yang merupakan keturunan Mahisa Wongateleng dan Raja
Udayana di Bali ini kemudian mendirikan kerajaan Majapahit dengan pusat pemerintahan
di Tarik (Trowulan).
Candi Singasari memiliki banyak cerita dan
sejarah yang perlu dilestarikan agar cerita di masa lalu dapat lestari pada
masa yang akan datang. Setelah kami mengunjungi,mengamati dan mengulas semua
cerita tentang Candi Singasari, kami melanjutkan perjalanan kami ke Candi
Sumberawan yang merupakan bekas peninggalan masa dinasti Singasari mulai pukul
09.30 dan tiba pukul 11.00 WIB.
Candi Sumberawan merupakan sebuah candi yang terletak di Desa Toyomarto, kecamatan
Singosari. Candi ini mungkin tidak berbentuk selayaknya candi pada umumnya,
candi Sumberawan hanya berbentuk seperti stupa dan merupakan candi Budha dan
peninggalan dari kerajaan
Singhasari.
Candi ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran panjang 6,25 m,
lebar 6,25 m, dan tinggi 5,23 m, dibangun pada ketinggian 650 m di atas
permukaan laut, di kaki bukit Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini
sangat indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya.
Keadaan inilah yang memberi nama Candi Rawan.
Candi
Sumberawan merupakan peninggalan sejarah yang berasal dari sekitar abad 14 atau
awal abad 15. Dalam prasasti Negarakertagama disebutkan bahwa, Candi Sumberawan
diidentifikasikan sebagai Kasurangganan atau Taman Surga Nimfa dan telah
dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk dari Majapahit di 1359. Candi Sumberawan
pertama kali ditemukan pada tahun 1904 dan pada 1937 diadakan pemugaran oleh
pemerintahan Hindia Belanda pada bagian kaki candi. Candi sumberawan merupakan
satu-satunya candi yang berbentuk stupa di Jawa Timur.
Candi Sumberawan tidak memiliki tangga naik
ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan untuk menyimpan benda suci. Jadi,
hanya bentuk luarnya saja yang berupa stupa, tetapi fungsinya tidak seperti
lazimnya stupa yang sesungguhnya. Diperkirakan candi ini dahulu memang
didirikannya untuk pemujaan. Suasana yang teduh dan tenang di sekitar candi menjadikan
tempat ini cocok untuk melakukan meditasi.
Nah itulah cerita misi perjalanan, pengembaraan dan mengulas sejarah dua
candi yang kami kunjungi. Rasa lelah, panas, dingin adalah rasa yang pernah
kita lalui bersama. Namun tak sebanding dengan keindahan yang kita dapatkan di
kedua candi tersebut. Hal yang perlu ada pada sebuah kelompok adalah kekompakan
dan kepekaan maka akan memperoleh sebuah hasil yang terindah.
(By : Yunita, Rizky, Abidin, Puput, Ihdina, Aida, Efi, Toni, Zete, Amel,
Puri dan Lamina )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar